Apa itu Psikologi?

/
0 Comments
Psikologi

Saat saya masih kuliah S1 & S2 psikologi, banyak yang bertanya, "Psikologi itu apa sih? Ilmu tentang baca pikiran ya?". Meskipun sudah menjadi jurusan yang banyak diajarkan di kampus-kampus di Indonesia, tapi memang masih banyak yang belum mengenal psikologi. Seringkali, psikologi dianggap sebagai ilmu membaca pikiran, ilmu mengendalikan orang lain, sampai ilmu membaca masa depan. Di situ saya merasa sedih, karena psikologi seringkali disamakan dengan ilmu gaib.

Dalam tulisan ini, saya akan menjelaskan secara singkat tentang psikologi. Pastinya, psikologi bukanlah ilmu membaca pikiran atau mengendalikan orang lain. Meski dalam psikologi memelajari teknik modifikasi perilaku atau memprediksi orang lain, namun cara kerjanya tidak seperti ilmu gaib atau dukun. Ada metodologi ilmiah di belakangnya, dengan dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Bukan seperti tayangan sulap di TV, cukup menatap mata, lalu bisa menebak hal yang sedang orang lain pikirkan.

Secara singkat, psikologi adalah ilmu tentang perilaku dan proses mental. Perilaku adalah hal yang nampak pada diri seseorang dan bisa kita amati langsung melalui indra-indra kita, sedangkan proses mental adalah hal yang terjadi di balik perilaku tersebut dan tidak bisa kita amati langsung. Kedua hal tersebut dipelajari di dalam psikologi. Jadi, psikologi tidak hanya memelajari perilaku yang nampak, namun juga proses-proses pikiran maupun perasaan yang berperan di balik tingkah laku seseorang.

Dalam memelajari psikologi, kita akan seringkali berhadapan dengan 3 aliran atau perspektif dalam psikologi. Ketiga perspektif ini menjadi dasar dari pemikiran kita mengenai perilaku dan proses mental yang terjadi pada diri manusia. Dari ketiga pemikiran dasar tersebut, dapat kita kembangkan lagi menjadi pemahaman-pemahaman baru yang lebih kompleks dan mendalam. Ketiga perspektif tersebut adalah:

1. Psikoanalisis
Kalau kamu sering mendengar nama Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung, maka mereka berdua adalah tokoh yang meletakkan dasar-dasar psikoanalisis. Secara ringkas, psikoanalisis memandang manusia melalui dua aspek: kesadaran dan ketidaksadaran. Dalam berperilaku, ada aspek yang disadari manusia, namun juga ada aspek yang tidak disadari namun berperan besar, dan ketidaksadaran tersebut berperan lebih besar dalam perilaku manusia. Pikiran tidak sadar tersebut menyimpan berbagai macam pengalaman-pengalaman yang pernah kita alami, dan kemudian berakumulasi membentuk diri kita yang sekarang, meskipun tidak kita sadari. Pengalaman-pengalaman traumatis di masa lalu seperti sering di-bully, sering diperlakukan dengan semena-mena, tidak diperhatikan oleh orang tua, mungkin sudah tidak kita ingat, namun bukan berarti pengalaman tersebut berakhir begitu saja. Alam bawah sadar pikiran kita masih menyimpan kejadian-kejadian tersebut, dan membentuk kepribadian kita saat ini, sehingga orang tersebut saat ini menjadi sosok yang rendah diri dan butuh perhatian.

Selain itu, pikiran kita tersusun oleh id, ego, dan superego. Id merupakan aspek primitif manusia dan prinsipnya adalah "memenuhi kesenangan". Superego adalah "polisi" dalam manusia dan berprinsip sesuai dengan moral serta hati nurani. Sedangkan ego merupakan "penengah" antara keduanya dan yang berperan dalam kesadaran, prinsip dari ego adalah "realitas pada saat ini". Ego seringkali menengahi id dan superego dengan berbagai cara. Misalnya, ketika id ingin sekali menyalurkan hasrat agresifnya dengan memukul orang lain, namun superego tidak mengizinkan karena hal tersebut tidak sesuai dengan moral, maka akan muncul konflik. Bila tidak diatasi, konflik tersebut bisa memicu gangguan dalam perilaku dan proses mental manusia, sehingga ego pun menjadi penengah, dengan cara mengarahkan orang tersebut untuk mengikuti kelas tinju, sehingga keinginan id tetap terpenuhi, yakni memukul orang lain, dan prinsip superego juga tetap terpenuhi, yakni tidak melanggar prinsip moral. Win-win solution.

2. Behaviorisme
Perspektif ini, sesuai dengan namanya, lebih berfokus pada perilaku manusia yang nampak. Menurut pandangan ini, manusia sangat dibentuk oleh lingkungannya, berdasarkan prinsip pembiasaan, hadiah, dan hukuman. Ketika kita melakukan sesuatu dan mendapatkan konsekuensi yang menyenangkan, maka kita akan cenderung mengulangi perbuatan tersebut. Misalnya, ketika kita membantu teman dan mendapatkan pujian dari orang lain setelahnya, maka kita akan cenderung mengulang kembali tindakan membantu teman bila kesempatan itu muncul di kemudian hari. Sebaliknya, jika kita melakukan sesuatu dan mendapatkan konsekuensi yang tidak menyenangkan, maka kita akan cenderung menghindari perbuatan tersebut. Misalnya, ketika kita merusak barang orang lain yang kita pinjam dan orang tersebut marah terhadap kita, maka kita akan cenderung lebih berhati-hati menjaga barang pinjaman agar tidak rusak lagi di kemudian hari. Prinsipnya adalah, ada penyebab, maka ada akibat (stimulus-respons).

3. Humanistik
Pandangan ini memiliki konsep dasar bahwa manusia berperilaku karena adanya keinginan untuk bertumbuh dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Tokoh yang paling terkenal adalah Abraham Maslow. Misalnya, kita membeli ponsel mahal (meskipun tidak butuh) adalah karena adanya keinginan kita untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain bahwa kita mampu. Atau ketika seseorang berambisi sekali untuk menjadi juara, karena adanya keinginan dalam dirinya untuk menjadi lebih baik dan menumbuhkan harga dirinya.

Ketiga pandangan tersebut menjadi fondasi dasar dalam memahami perilaku orang lain dalam psikologi.

Memprediksi?
Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah psikolog bisa memprediksi perilaku orang lain? Dalam ilmu psikologi memang dipelajari, misalnya seseorang dengan tipe kepribadian neurotic akan mudah cemas dalam menghadapi kritikan. Namun cara memprediksinya bukan seperti pesulap atau dukun, yang hanya menatap wajah lalu mengeluarkan pendapat. Dalam psikologi, prediksi-prediksi seperti ini muncul dari riset, dengan jumlah subyek yang sangat banyak. Misalkan, seorang peneliti mengambil data dari 3000 orang yang berkepribadian neurotic, kemudian ternyata 2800 dari 3000 orang tersebut ternyata mudah cemas ketika mendapat kritikan, sehingga peneliti tersebut menyimpulkan bahwa orang dengan kepribadian neurotic cenderung rentan terhadap kritikan. Jadi, ada dasar ilmiah di balik prediksi tersebut, dan dilakukan dengan metodologi ilmiah, bukan "tatap mata saya..."

Demikian yang bisa saya share dalam tulisan pertama saya di blog ini. Semoga bermanfaat ya :)

Referensi gambar:
"Does it now?" oleh Peter Merholz sesuai dengan izin CC BY 2.0


You may also like

No comments :

2016 by Garvin Goei. Powered by Blogger.